Wednesday, February 24, 2010

Nama Saya di Mesin Pencari


Cukup dengan mengetik nama saya: Prie GS di mesin pencari Google, bertemulah saya dengan Guru SMA saya dulu. Saya menjumpainya lewat blog karena di situlah ia menulis nama saya sebagai muridnya. Ia ingatkan soal-soal yang saya lupa: antara lain saya ternyata gemar meminjam rapidonya. Rapido adalah alat gambar yang amat mahal saat itu. Dengan tinta yang pekat dan ukuran pena yang berbeda-beda, itulah alat terbaik untuk menggambar kartun, hobi yang hingga kini masih saya jalani. Saat SMA, itulah satu-satunya alat untuk mencari uang dan itulah hobi yang membuat nama saya terkenal di sekolah dan membuat Pak Guru ini bangga pada muridnya.
Saya membaca blog ini dengan berkaca-kaca. Tergelar kembali seluruh kenangan saya di SMA, di sebuah kota kecil yang sudah terlihat sebagai raksasa karena asal saya yang dari desa. Maka seluruhnya dari kota kecil itu terlihat sebagai besar karena sikap udik saya. Di kota ini terlalu banyak anak-anak yang terlihat cantik dan membuat saya setiap kali diam-diam jatuh cinta. Saya sebut diam-diam karena betul-betul jatuh cinta dengan diam karena hanya saya pendam tanpa pernah benar-benar berani saya utarakan,. Akibatnya hingga mulai dari naksir, sampai patah hati, sampai sembuh lagi, anak yang saya taksir itu tak sekalipun pernah mengerti.

Tapi soal kenangan itu biarlah nanti saya tulis dalam bab tersendiri. Yang ingin saya tekankan di kesempatan ini adalah pengaruh guru-guru terbaik dalam hidup saya, salah satunya adalah Pak Guru yang gemar meminjami rapido saya ini. Di setiap tahapan sekolah saya seperti dipertemukan dengan guru-guru semacam itu. Satu pujian dari guru ini, akan terpatri mati di dalam hati. Seorang guru SD saya pernah berkata: meskipun matamu sipit (mata saya waktu kecil memang amat sipit), tapi kamu ini pinter. Tak penting sebutan mata sipit itu, tapi kata pintar itu benar-benar saya percayai hingga hari ini. Guru yang lain berkomentar: anak ini cerdas, hanya ceroboh. Saya hampir tak mendengar kata ceroboh itu. Yang terdengar hingga hari ini adalah sekadar kata cerdas itu. Sungguh, satu pujian dari guru, ia akan mengeras di ingatan serupa batu. Dan itu memotivasi bawah sadar saya hingga di hari tua.

Jadi kenapa hubungan guru dan murid tidak memanfaatkan energi yang istimewa ini? Lupakan sekolah mahal, bongkar pasang kurikulum dan sekolah yang yang makin menjadi industri. Seluruh hambatan pendidikan di Indonesia bisa diperbaiki dengan memanfaatkan energi semacam ini. Saya tidak peduli apakah pujian itu adalah kenyataan diri saya. Tak penting apakah sebetulnya saya ini cerdas atau dongok, pintar atau goblok. Tapi oleh guru-guru saya, saya telah terlanjur dikatakan sebagai pintar dan cerdas. Energi itulah yang bersemayam di bawah sadar saya dan membuat saya percaya.

Kualitas orang yang percaya, sungguh amat berbeda dari pihak yang menolak dan ragu-ragu. Saya mempercayainya, karena itulah mungkin saya menjadi cerdas tak terasa. Dengan cara apa? Dengan perasaan sok cerdas pada awalnya. Tetapi makin lama makin besar dorongan itu menjadi kebiasaan hidup saya. Setiap kali merasa goblok dan kecil hati saya bayangkan wajah guru-guru saya itu. Di SMP, saya mengingat dengan sangat jelas komentar guru saya yang lain: ‘'Anak ini tampaknya saja suka bercanda, tetapi diam-diam ia menyimpan kesungguhan.'' Pernyataan itu seperti mantera di batin saya. Mungkin pada awalnya saya memang cuma senang bercanda. Tetapi karena dianggap menyimpan kesungguhan, rasanya tak patut jika saya tidak memiliki kesunguhan hidup.

Jadi, banyak kehidupan ini berubah hanya dengan beberapa kata. Kenapa kita tidak sesering mungkin menyumbangkan kata-kata itu kepada orang-orang di sekitar kita?

sumber : Prie GS

No comments: