Wednesday, August 18, 2010

Belajar Sambil Mendengarkan Musik


Menurut sebuah penelitian baru, yang telah termuat dalam jurnal Applied Cognitive Psychology, ritme lagu ternyata bisa memengaruhi kemampuan seseorang mengingat sesuatu. Dalam penelitian itu, para ilmuwan meminta beberapa partisipan untuk mengingat delapan huruf konsonan sesuai dengan urutan yang telah diatur.

Nah, para partisipan dikelompokkan di lima ruangan berbeda. Pada ruangan pertama, tidak ada musik yang dimainkan. Sementara di ruangan kedua, diperdengarkan musik kesukaan mereka. Di ruangan ketiga, dimainkan musik yang tidak disukai. Sementara pada ruangan keempat, diputarkan bunyi-bunyian dengan ritme yang berubah-ubah. Lalu di ruangan terakhir atau ruangan kelima, para peneliti memperdengarkan aneka bunyi dengan ritme yang tetap.

Tidak sedikit orang yang suka belajar sambil mendengarkan musik (misalnya melalui radio, televisi, atau piranti pemutar lagu). Mungkin Anda salah satunya. Pertanyaannya: hasilnya efektif atau tidak?

Ternyata kemampuan terendah dalam menyusun kembali huruf-huruf ditunjukkan oleh partisipan yang mendengarkan musik, baik musik itu mereka sukai atau tidak. Hasil yang sama rendahnya ditunjukkan mereka yang berada di ruangan dengan ritme berubah-ubah. Sebaliknya, hasil yang lebih baik muncul dari mereka yang mencoba mengingat-ingat urutan huruf di ruangan tenang dan di ruangan dengan bebunyian beritme tetap.

"Latar belakang musik dapat memengaruhi kemampuan otak untuk melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan memori, yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi konsentrasi," papar Nick Perham, peneliti dan dosen di School of Psychology, University of Wales Institute di Cardiff.

"Tahukah Anda, untuk mengingat data juga diperlukan kemampuan untuk mempertahankan kontrol informasi dalam jangka pendek, yaitu melalui pengulangan memori. Tetapi hal tersebut tidak akan terjadi ketika lingkungan belajar atau tempat untuk mengingat mengalami variasi akustik atau perubahan bunyi, seperti dengan latar belakang musik. Inilah yang menyebabkan hasil buruk pada para partisipan kami, yang ada di ruangan dua, tiga, dan empat."

Perham menganjurkan, jika Anda mengerjakan sesuatu yang memerlukan daya ingat, seperti menghafal, lakukanlah dalam lingkungan yang tenang.

sumber : andriewongso.com

Sunday, August 15, 2010

Orang Tasikmalaya Sohor di Luar Negeri


Temuan Yogi Erlangga menguntungkan perusahaan raksasa minyak dunia.

Usia 36 tahun. Lahir di Tasikmalaya. Yogi Erlangga meraih gelar doktor dari Universitas Teknologi Delft, Belanda pada usia yang terbilang muda, 31 tahun. Dia mencintai ilmu yang dibenci banyak orang, matematika. Di negeri kincir angin itu, dia dinobatkan sebagai doktor matematika terapan.
Dan matematika itulah yang melambungkan Yogi Erlangga ke perusahaan minyak raksasa dunia. Dia adalah efisiensi. Rumus matematika yang dikembangkannya membuat ribuan insinyur minyak bisa bekerja cepat. Akurasi tinggi. Dan akhirnya si raja minyak banyak berhemat.
Penelitian yang dilakukan Yogi dalam meraih gelar doktor berhasil memecahkan persoalan matematika atas gelombang yang bisa digunakan oleh perusahaan minyak untuk mencari cadangan emas hitam itu. Rumus yang dikembangkan Yogi ini seratus kali lebih cepat dari yang berlaku sebelumnya.
Bukan cuma perusahaan minyak yang riang, sejumlah perusahaan raksasa dunia yang mengunakan unsur gelombang juga bersukaria.
Rumus matematika anak Tasikmalaya itu juga manjur untuk teknologi keping Blu-Ray. Keping itu bisa memuat data komputer dalam jumlah yang jauh lebih besar. Rumus itu juga mempermudah cara kerja radar di dunia penerbangan.

Dalam siaran pers -- saat wisuda doktor Desember 2005-- Universitas Delft sungguh bangga akan pencapaian Yogi. Siaran per situ menyebutkan bahwa penelitian Yogi adalah murni Matematika.
Dia berhasil mengembangkan suatu metode kalkulasi, yang memungkinkan sistem komputer untuk menyesaikan ekuasi krusial secara lebih cepat. Padahal, persamaan krusial itu sulit diatasi oleh sistem komputer yang dipakai perusahaan-perusahaan minyak.
Penelitian Yogi itu didasarkan pada “Ekuasi Helhmholtz.” Bagi kalangan ilmuwan, metode ekuasi itu penting dalam mengintepretasi ukuran-ukuran akustik yang digunakan untuk mensurvei cadangan minyak.
Sebelumnya, pengukuran itu dilakukan secara dua dimensi. Namun, dalam penelitian doktoralnya, Yogi berhasil membuat metode kalkulasi yang digunakan untuk memecahkan ekuasi Helmholtz ratusan kali lebih cepat dari yang biasa.
Itulah sebabnya perusahaan-perusahaan minyak bisa memanfaatkan kalkulasi secara tiga dimensi untuk mencari cadangan minyak. Itulah sebabnya Delft yakin bahwa metode yang dikembangkan Yogi bisa mengundang daya tarik perusahaan-perusahaan minyak.
Profesor pembimbing tesis Yogi, Dr. Kees Vuik, bangga dengan kerja keras anak didiknya itu. “Berdasarkan respon-respon yang kami terima dari industri maupun universitas-universitas asing, kami yakin bahwa karya itu telah memecahkan masalah yang telah berlangsung selama tiga puluh tahun,” kata Vuik dalam siaran pers Universitas Delft.
Peneliti asal Institut Teknologi Bandung (ITB), Khairul Ummah, menyatakan kekagumannya atas pencapaian Yogi. “Riset PhD dia cukup dahsyat, memecahkan persoalan matematika gelombang yang digunakan oleh perusahaan minyak Shell untuk mencari cadangan minyak,” tulis Khairul dalam laman blog ilmiah SEPIA yang dia kelola bersama sejumlah akademisi lain.
“Hasil riset dia [Yogi] cukup menghebohkan dunia minyak, terutama dengan kemungkinan membuat profil 3 dimensi dari cadangan minyak. Metode dia berhasil memproses data-data seismik seratus kali lebih cepat dari metode yang sekarang biasa digunakan,” tulis Khairul.
Yogi meraih gelar sarjana ilmu aeronautika dari ITB pada 1998. Kemudian dia menimba ilmu di Belanda dan meraih gelar Master (Msc) di Universitas Teknologi Delft pada 2001 di bidang Matematika Terapan.
Empat tahun kemudian, di alma mater dan disiplin ilmu yang sama, Yogi meraih gelar Doktor. Sempat mengikuti program post-doctoral di Jerman, Yogi selanjutnya tercatat sebagai Asisten Profesor bidang Matematika di Universitas Alfaisal, Arab Saudi. Menurut data dari Universitas Alfaisal, Yogi sibuk dalam proyek penelitian aljabar linear dan analisis matriks.
Menurut Khairul, Yogi sempat merasa sedih bahwa dirinya lebih dihargai perusahaan-perusahaan asing ketimbang di Indonesia. Saat tidak ada perusahaan tanah air yang mengetahui karyanya, Yogi malah gencar didekati sejumlah perusahaan top dunia.
“Setelah hasil dia dipublikasikan, maka dia mendapat kontak dari Schlumberger untuk menindaklanjuti hal itu. Shell tentu saja sudah memakainya.
Bahkan di Belanda dia diliput oleh media massa, juga media TV Belanda berencana mewawancarainya (tapi dia keburu pingin pulang, jadi tidak sempat). Jelas hal ini menunjukkan potensi ekonomi luar biasa dari algoritma matematik yang dia temukan,” tulis Khairul di blognya.
Di laman blog SEPIA, Mei 2006, Yogi mencurahkan uneg-unegnya atas tiadanya perhatian perusahaan-perusahaan asal Indonesia kepada karyanya. “Dari bangsa ini, sudah banyak yang memberikan kontribusinya masing-masing pada dunia keilmuan yang digelutinya. Sayangnya bangsa kita belum terbiasa untuk menghargai hasil karya keilmuan mereka,” tulis Yogi.
Dia mencontohkan, tahun 1970, Indonesia, Malaysia, Korea, China were nothing [sama-sama tidak ada apa-apanya]. Tahun 1980, Korea became something. Tahun 1990 Malaysia started to be something. “Sekarang, China is everything. Unfortunately, we are still nothing, sadly speaking,” tulis Yogi.
Namun, dia yakin bahwa masih banyak anak bangsa yang akan merasa bangga jika mereka menghasilkan segala prestasi terbaiknya di negeri sendiri dan untuk kejayaan bangsanya. Tinggal kemauan bangsa dan negara untuk menyambut keinginan mereka dengan sambutan yang “appropriate” [layak], kata Yogi.
sumber : VIVAnews