Saturday, July 4, 2009

Saya Banget!


Saat kolom ini saya tulis, putri saya, Suha, sedang keranjingan memutar lagu-lagu kesukaannya. Lagu yang malangnya, karena datang dari generasi berbeda, tak satupun saya kenali. Kemalangan berikutnya, lagu itu disimpan di komputer bapaknya. Kemalangan berikutnya lagi, ia selalu tergerak memutar lagu itu tepat ketika saya hendak menghidupkan komputer dan siap mengetik. ‘'Nunut sejenak,'' katanya. Lalu tangannya terampil menjelajah di mana lagu itu disimpan, mengeraskannya dan menyiksa bapaknya. Kemalangan terakhir ialah ketika saya harus mendengar lagu anak saya dari jenis yang asing, yang tidak saya sukai, tetapi harus saya dengar setiap kali.

Semula saya hampir menghenitkan gangguan ini dengan kekuasaan saya sebagai orang tua. Tapi sebelum niat ini saya laksanakan ada sebuah lagu, yang karena begitu sering saya mendengarnya, menjadi pelan-pelan akrap di telinga. Semula saya juga tak perlu menghafal judul dan siapa penyanyinya, karena jangankan band anak-anak muda asing, band negeri sendiri pun tak mungkin lagi saya hafali karena rasanya band baru selalu muncul tiap hari. Yang saya tahu, jika rambut anak muda itu lurus dan miring hingga menutup sebelah mata, naa itu pasti anak band, itu saja.
Tetapi lagu yang satu ini terpaksa saya hafal: Dear God judulnya, Evenged Sevenfold nama kelompoknya. Babak akhir inilah inti ceritanya: karena mulai menyukai lagu ini, saya pun setiuap kali tergerak untuk ikut-ikutan menyanyi. Tetapi setiap saya mulai menyanyi, anak saya selalu meledak dalam tawa.

‘'Stop... stop! Berhenti!'' begitu teriaknya.
‘'Ada apa?'' tanya saya.
‘'Karena Bapak nyanyi lagunya Evenged Sevenfold, tapi logatnya mirip Rhoma Irama!''
Sisi rumah meledak dalam gelak tawa.

Tawa itu membuat saya merenung. Kenapa ya, sekeras apapun usaha saya meniru anak-anak muda itu menyanyi, logat saya tetap saya jatuh ke cengkok Rhoma Irama atau Didi Kempot misalnya, musik yang memang seinduk dengan budaya saya. Sebuah kedekatan yang kemudian jelas akibatnya: sepersis apapun saya meniru Evenged Sevenfold, kepada Rhoma Irama pula saya berlabuh.

Ini sungguh bukan bencana, kecuali kalau kita sedang mempercayai rasisme budaya, bahwa yang satu lebih rendah dari yang lain. Rasisme semacam inilah yang pelan-pelan harus saya hilangkan, setidaknya dari konflik batin saya sendiri. Itullah kenapa saya senang sekali melihat Hermawan Kertadjaya berbahasa Inggris dengan percaya diri, tetapi dengan logat Surabaya. Saya juga senang sekali dengan rencana kelompok Slank yang ingin membuat album berbahasa Inggris dengan logat Inggris yang Indonesia banget. Darimana ilhamnya? Dari orang-orang Jamaica, yang betapapun mereka sedang bicara dalam bahasa Ingris, langsung tetangkap dari mana asal mereka. Logat itulah yang kemudian saya dengar telah menjadi logat salah satuh tokoh kartun di film Madagaskar kesukaan anak-anak saya. Lucu, unik, eksotik, asyik.

Apakah ini berarti orang-orang Amerika yang mengangkat martabat logat ini ke negeri Mereka? Tak sepenuhnya. Ini pasti juga karena orang Jamaica itu sendiri yang ogah merubah logatnya. Saya menyukai semangat ini. Sekarang ini, saya malah sedang ingin memperdalam bahasa Inggris tapi dalam logat kampung saya. Lalu saya bayangkan Inggris Kampung saya itu akan setara dengan rumah kampung, ayam kampung, yang kini naik harganya justru karena nilai kampungnya. Sekali lagi, ini bukan soal apakah kampung lebih hebat dari kota dan sebaliknya, tapi menyangkut soal: bahwa kota yang hebat itu ada, kampung yang hebat itu juga ada. Keduanya, tak perlu dipertukarkan. Itu saja.
Prie GS

No comments: